Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Situs Bersejarah di Pancur Terancam Punah, Diduga Akibat Tambang Ilegal, dan Pemerintah Dimintak Turun Tangan

Senin, 28 April 2025 | April 28, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-29T01:49:24Z




Kabupaten Jepara - Radar-nasioanal.net

Berdasarkan letak geografis desa Pancur, kecamatan Mayong memiliki batas batas wilayah, diantaranya bagian Barat punya batas dengan desa Mindahan Kidul dan Rajekwesi, untuk bagian Selatan berbatasan dengan desa Raguklampitan, Ngroto dan desa Datar.
Kemudian untuk Utara, desa Pancur berbatasan dengan desa Somosari, sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan desa Bungu. Selasa (29/4/2025) pagi.


*Apa Saja Situs Bersejarah Di Desa Pancur Kec. Mayong*

Menurut informasi yang diterima, desa Pancur memiliki banyak peninggalan bersejarah, diantaranya Masjid Wali (Kenduren) terletak di dusun Singkil berada di bagian utara, makam Mbah Eyang Merto dan Syekh Baladah, yang konon adalah pejuang yang babad tanah pancur pertama kali, atau cikal bakal tertua di desa tersebut.
Selain itu, dikabarkan juga adanya petilasan Empu Supo (murid Sunan Kalijaga), kemudian ada pula makam Mbah Haji Hasan Kafrawi. Yang mana hingga sekarang ini namanya telah diabadikan sebagai nama di beberapa Sekolahan dan diantaranya dari tingkat sekolah MI, MTs, MA dan SMK, di desa Pancur, kecamatan Mayong, kabupaten Jepara, Jawa Tengah.


*Asal Usul Munculnya Nama Desa Pancur*

"Secara Etimologi, menurut catatan para sesepuh di Desa Pancur, asal nama Pancur sendiri berasal dari perkataan Sendang Pancuran Sendang, keberadaanya mulai dikenal sejak Empu Supo (murid Sunan Kalijaga), yang mana singgah di kampung Pancur Suwang, yang konon saat di tempati wilayah (RT 35/07). Dikala itu pernah terjadi geger atau perebutan tahta Kerajaan Demak yang berakhir wafatnya Sultan Hadlirin pada tahun 1549 M. Dan ditempat itu pula sebagai nama tempat berwudlu saat Empu Supo akan menempa keris, dan atau tempat peristirahatan bagi tentara Demak".


Kemudian jika dilihat menurut sejarah, sebagai penguasa untuk wilayah Jepara, Demak, Kudus, dan Pati. Mendapat tugas untuk mencari Sendang Pengasihan, setelah mengadakan penelusuran Sendang Pancuran inilah yang dimaksud dengan Sendang Pengasihan. Di Sendang ini, Empu Supo bersuci dan bersujud. Sendang tersebut juga menjadi tempat istirahat tentara Demak dan Lemah Duwur (sebelah Sendang) dijadikan sebagai tempat untuk menempa senjata. Dari sinilah nama Pancoran kemudian menjadi nama Desa Pancur. Untuk menjaga tentara dan warga dari serangan musuh, jalan menuju Sendang diberi Azimat agar musuh menjadi luluh, tempat tersebut terkenal dengan nama Kali wuluh, kemudian di utara Kali wuluh (perbatasan antara desa Raguklampitan dengan Pancur) di beri Azimat oleh Empu Supo untuk menangkal musuh, tempat tersebut diberi nama Kali Panean dari kata mani’ dalam bahasa arab artinya mencegah/menangkal.

*Desa Pancur Saat Ini Dan Hasil Penelusuran Tim*

Lebih jauh, dalam lintasan sejarah yang dialami desa Pancur kini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Kampung ini dulunya termasuk desa yang kramat dan setiap orang yang menetap disini selalu meninggal. Akhirnya di masa Syekh Subakir mengutus beberapa orang yaitu Mbah Ronggo Jiwo disertai dengan Nyai Ratu Gondo Sari dan Nyai Ratu Dewi Seruni, dan akhir cerita Mbah Ronggo Jiwo dimakamkan di Makamdo’a, Dewi Ayu Seruni dimakamkan di Kali Totok dan Nyai Ratu Gondo Sari dimakamkan di Kedung Gambir.

Kemudian dalam lintasan perjalanan menuju kampung Pancur, bagi orang yang tidak baik akan luluh dan di tangkal di Kali Panean, dalam perjalanan spiritual menuju hidup yang lebih baik jiwa harus ditotokke (dengan cara bertaubat) dalam perjalanan spiritual berikutnya ke Makam Do’a orang harus senantiyasa berdzikir, berdo’a dan senantiyasa berharap kepada Allah SWT, perjalanan berikutnya menuju Kedung Gambir. Sedangkan Kedung Gambir sendiri mengandung filosofi “orang kalau ingin kaya, alim harus gambir/pahit atau prihatin, riyadloh dulu”.
Dalam menuju kebersihan jiwa/hati bersuci di Sendang (tabarrukan di petilasan Empu Supo) untuk menyinarkan energy positif dan menyirnakan energi negative (tahalli, takholli, tajalli) dalam perjalanan berikutnya proses penghambaan dengan Sholat dan kholwat di Masjid Wali Kenduren.

Masjid tersebut adalah Masjid Pertama peninggalan Eyang Merto dan Syekh Baladah atau Syekh Baghdad dari Demak ( kerabat dari Ki Ageng Selo/Moyangnya Raja-Raja Mataram). Dengan Masjid tersebut adalah (tunggak Jati Pancur) diharapkan sebagai kegiatan untuk mensyiarkan Agama Islam di Kampung Pancur. Nama kenduren di ambil dari nama desa di Demak tempat tinggalnya Mbah Kedah (kerabat dari Syekh Baladah) yang pernah singgah di Pancur dalam pencarian kerabatnya (Syekh Baladah) dan diberi tanah di kampung Pancur yang diberi nama tanah Kenduren yang dijadikan sebagai tempat untuk Masjid.
Di kenduren sendiri ada tanah yang diberi nama tanah Pancur. Dari sinilah awal persaudaraan antara warga Pancur dengan warga Kenduren, Mbah Kedah juga diberi Bende (gong kecil) peninggalan Mbah Ronggo Jiwo yang ada di Kedung Gambir, bende ini setiap musim kemarau panjang dipinjam warga Pancur untuk upacara ADUS CENDOL di daerah kali Randobango Pancur, agar pada musim kemarau diberi hujan.


Dalam perjalanan spiritual berikutnya adalah mengingat bahwa hanya kepada Allah tempat kita mohon perlindungan, pertolongan dan tempat kembali, berziarah ke Makam Syekh Baladah Kalisawah, Makam Pakis Adji Mbah Abdul Ghoni, Makam Mbah Eyang Merto dan Mbah KH. Hasan Kafrawi. Mbah Hasan Kafrawi adalah keturunan dari Sultan Banten dan Pateh Cerbon, yang meneruskan perjuangan Mbah Syeh Baladah dan Eyang Merto, dalam perjuangannya Mbah Hasanb Kafrawi (tabarrukan pucak masjid wali kenduren) untuk dijadikan sebagai pucak Masjid di Tamansari.

"Hal ini dikuatkan oleh hasil riyadloh Mbah H. Muhadi bahwa kelima tokoh tersebut adalah cikall bakal Desa Pancur. Menurut Ky. Masyudi Syekh Baladah, Eyang Merto, dan Empu Supo adalah utusan Sunan Kalijaga, untuk menyebarkan agama Islam di Desa Pancur. Syekh Baladah sebagai Imam Masjid Wali, Eyang Merto sebagai muadzin, dan Empu Supo sebagai keamanan".


*Situs Sejarah Di Desa Pancur Hampir Punah Dan Tinggal Cerita Tak Tersisa*

Seiring berjalannya keserakahan dan keegoisan ulah oknum manusia, semua peninggalan-peninggalan bersejarah sebagai warisan dari cikal bakal Desa Pancur kini terancam hilang dan punah tak tersisa lagi, namun kerusakan itu diindikasi bukan karena faktor alam, tetapi diduga terkena dampak dari kegiatan tambang illegal yang semakin marak dan menjadi jadi. Salah satunya adalah penambangan di dukuh Sukorejo RT 47 RW 11 Desa Pancur yang memiliki 100 KK, berlokasi hanya berjarak 7 meter dari makam Mbah Eyang Merto.

"Salah satu tokoh masyarakat perwakilan warga mengemukakan, penambangan di Desa Pancur sudah ada sejak tahun 90 an, tapi waktu itu dengan mencangkul atau manual, sehingga tidak menggunakan alat berat. Tapi semakin kesini semakin massif dengan menggunakan alat berat parahnya sejak Tahun 2023, Sehingga masyarakat semakin khawatir dan terganggu akan dampak-dampak yang ditimbulkan. Apalagi penambangan yang ada di Dukuh Sukorejo sangat berdekatan dengan petilasan makam leluhur cikal bakal babat alas Desa Pancur, yaitu Mbah Eyang Merto".
Keberadaan makam Mbah Eyang Merto kondisinya saat ini sangat terancam, karena posisinya di sebelah kanan bangunan berbatasan langsung dengan jurang dan sebelah kiri bangunan hanya berjarak 7 meter berbatasan langsung dengan kubangan besar bekas tambang tanpa kemiringan dengan kedalaman kurang lebih 15 meter, bahkan pagar beton pembatas jalan yang dibangun swadaya oleh warga, dengan melihat kondisi saat ini dikhawatirkan bisa jatuh ke kubangan bekas tambang galian C tersebut.

Jika ini terus dilakukan pembiaran tanpa penanganan cepat, maka bukan tidak mungkin makam dan jalan tersebut akan amblas longsor. Dengan adanya dampak lingkungan serius dan mengancam keberadaan situs leluhur cikal bakal Desa Pancur, warga dukuh Sukorejo sangat berharap Pemerintah bertanggung jawab dan melakukan upaya penanganan cepat untuk menangani permasalahan tersebut, jangan sampai terjadi bencana atau bahkan sampai timbul korban jiwa.
"Karena keberadaan makam tersebut bukan hanya sekedar kita jaga, tetapi disitu ada nilai sejarah serta listerasi budaya bagi anak cucu generasi di Desa Pancur. Yang kini terancam kegiatan tambang illegal oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sementara pemerintah sendiri terus melakukan pembiaran. Ini sebagai upaya pelestarian sejarah, tetapi juga investasi budaya bagi generasi mendatang. Dengan sinergi pemerintah, akademis, tokoh masyarakat, serta para ahli diharapkan bisa mempertahankan kelestarian lingkungan dan keberadaan tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah, karena ini merupakan identitas sejarah Desa Pancur. Ini sebagai bagian upaya tanggung jawab kita untuk mewariskan sejarah kepada anak cucu dalam menjaga alam, sejarah dan budaya".
(Yusron) 
Narahubung : Tim Ajicakra Indonesia
×
Berita Terbaru Update