Pemerintah Desa Karangcangkring, Kecamatan Kedungpring, Lamongan, memulai langkah awal menuju tertib agraria dengan menggelar sosialisasi Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) 2025 pada 18 Maret 2025. Acara yang berlangsung di balai desa itu dihadiri Camat Kedungpring, Noman Kresna Martha Sena, S.STP., M.Si., bersama jajaran perangkat desa dan tokoh masyarakat.
Tujuan sosialisasi ini, sebagaimana dijelaskan panitia, adalah untuk mendorong kesadaran warga akan pentingnya legalisasi kepemilikan tanah melalui program PTSL. Pemerintah berharap, dengan pendaftaran yang sistematis dan menyeluruh, seluruh bidang tanah di Karangcangkring dan desa-desa sekitarnya bisa terdokumentasi dengan baik—sekaligus menjadi fondasi kuat bagi peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat.
Namun, semangat program ini tampaknya beriring dengan pertanyaan soal transparansi. Pada 2 Mei 2025, tim media Radar Nasional menemui Kepala Desa Karangcangkring, Nurhasim. Ia menyebut, desanya mendapat kuota 300 bidang dalam program PTSL tahun ini, dengan biaya sebesar Rp 650.000 per bidang.
Pernyataan tersebut sontak mengundang keprihatinan. Pasalnya, dalam regulasi resmi yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri—yakni Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa—biaya partisipasi masyarakat untuk wilayah Jawa dan Bali ditetapkan maksimal sebesar Rp 150.000.
Fenomena semacam ini bukan pertama kali muncul dalam pelaksanaan PTSL. Alih-alih menjadi solusi, program ini kerap kali menimbulkan polemik akibat kurangnya pengawasan dan pemahaman masyarakat terhadap aturan yang berlaku. Pertanyaannya kini: akankah harapan akan tertib tanah benar-benar terwujud, atau justru tenggelam dalam praktik yang melenceng dari semangat awalnya?